Kemunculan Uber merupakan sebuah bentuk disrupsi karena bersifat kreatif sekaligus destruktif. Uber mampu menjawab kebutuhan banyak orang untuk memperoleh transportasi dengan cara yang mudah bahkan murah.
Namun, disisi lain Uber juga merusak aturan dalam bisnis transportasi yang penuh birokrasi dan juga mengancam eksistensi taksi konvensional.
Sama halnya dengan Uber, berbagai perusahaan berbasis teknologi atau startup di bidang lain juga melakukan hal yang sama. Startup ini menggunakan cara-cara kreatif dan inovatif dalam menjawab berbagai permasalahan dan tantangan. Mereka menggunakan model-model bisnis baru yang sulit dipahami dan dimengerti oleh para incumbent untuk memperoleh penghasilan.
Model bisnis yang kebanyakan menggunakan aplikasi ini mampu memangkas banyak biaya sehingga membuat harga produk dan jasa menjadi lebih murah. Sebuah pasar baru dari masyarakat kelas bawah pun mulai terbentuk karena harga yang ditawarkan relatif lebih murah dengan kualitas yang tidak kalah.
Perlahan namun pasti, pasar kelas menengah dan atas yang selama ini dikuasai oleh para incumbent pun ikut berpindah karena adanya perbaikan kualitas produk secara terus menerus. Akibatnya, para pemain lama mulai kehilangan pasar dan satu per satu mulai bertumbangan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para incumbent berjatuhan karena tidak mampu merespon cepatnya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
Namun, sebagian kecil incumbent ada yang mampu menjawab perubahan ini dan mampu bersaing dengan para pemain baru yang mulai menggerogoti bisnis mereka.
Para incumbent yang memiliki sumber daya yang cukup besar ini melakukan beberapa hal agar tetap bertahan seperti merekrut ahli digital, meniru produk pesaing, mengakuisisi pesaing dan melakukan perlawanan melalui jalur hukum.
“Beberapa orang mungkin tidak menyukai perubahan, tetapi Anda harus memilihnya jika pilihan lainnya adalah bencana”
Elon Musk