Tahun 1956, Komandan Daerah Militer Aceh, Kolonel Sjamaun Gaharu melakukan negosiasi dengan pemberontak. Salah satu hasilnya adalah Ikrar Lamteh, yaitu kesepakatan gencatan senjata kedua belah pihak. Gencatan senjata ini berjalan hingga 1959.
Namun kontak tersebut tak membuahkan hasil banyak. Hingga pada tahun 1961, Kolonel Mohammad Jasin, Komandan Daerah Aceh pengganti Sjamaun Gaharu mendekati dengan hormat dan sopan Daud Beureueh.
Jasin dan Daud Beureueh saling berkirim surat hingga bertemu empat mata untuk berdialog. Bahasa sopan dan rendah hati digunakan oleh Jasin untuk “menakhlukkan” Daud Beureueh. Karena Ia menganggap bahwa Daud Beureueh adalah tokoh ulama yang disegani. Ia pun melakukan diplomasi damai tanpa senjata.
Upaya ini rupanya berhasil. Daud Beureueh bahkan membalas surat hingga empat halaman penuh kertas polio mengungkapkan alasan mengapa Ia melakukan pemberontakan. Diantaranya adalah upaya penegakan hukum Allah dan karena kekecewaan rakyat Aceh terhadap Jakarta.
Setelah beberapa kali korespondensi, Daud Beureueh akhirnya bersedia bertemu dengan Jasin di gubuknya. Jasin mengajak Daud Beureueh mengakhiri pemberontakan secara damai dengan penuh takzim. Tawaran tersebut diterima oleh Daud Beureueh.
Pada 9 Mei 1962, Teungku Daud Beureueh beserta ribuan pasukannya bersedia turun gunung dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Inilah hasil sembilan tahun pemberontakan tentara DI/TII Aceh
Soal turun gunung, Mansoer Ismail, sekretaris pribadi Daud Beureueh memberi catatan keras bahwa Daud Beureueh belum puas dengan perjuangannya karena keinginannya belum tercapai yaitu kesejahteraan masyarakat Aceh. Jakarta tetap dianggap penipu oleh Daud Beureueh.
“Pengkhianatan membuat kami tak bisa bergerak bebas lagi.”
Mansoer Ismail