Jakarta dinilai oleh Daud Beureueh sebagai penipu dan telah menusuknya dari belakang. Pada masa revolusi, Ia adalah kaum republik yang tiada ampun mengganyang kolonial Belanda dari bumi nusantara Aceh. Namun kini Jakarta telah menyakiti hatinya.
Masuknya Ia dan para tokoh ulama dalam daftar hitam menambah ketegangan yang semakin memuncak. Padahal mereka adalah tokoh perjuangan yang berjasa mengusir Belanda, justru ditangkap dan dimasukkan bui. Kebenciannya terhadap Presiden Soekarno semakin berkobar.
Meski begitu, Daud Beureueh tetap menghadap Soekarno untuk meminta kejelasan status Aceh seperti yang pernah dijanjikan. Namun jawaban Soekarno justru membuatnya geram: Apa boleh buat. Negara baru, tentara baru. Apa yang terjadi tak bisa dibantah lagi. Hal ini memicu kemarahan Daud Beureueh.
Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh memukul gong pemberontakan dan menyatakan Aceh adalah bagian Negara Islam Indonesia (NII), mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Pertempuran pun dimulai dan TNI berbalik gagang menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
Pasukan pemerintah pusat yang dipimpin Kolonel Simbolon juga bergerak cepat dan berhasil menguasai kota kecil Garot. Pertempuran semakin memanas sejak Daud Beureueh menjalankan taktik gerilya. Dukungan sejumlah tokoh militer revolusi Aceh seperti Hasan Ali, Hasan Saleh, Husin Al Mujahid, Ilyas Leube dan beberapa pejabat sipil daerah menguatkan posisinya.
Serangan gerilya terus dilakukan dari satu tempat ke tempat lain hingga tahun 1955. Daud Beureueh tak mundur sedikit pun. Selama peperangan berlangsung, ia bermarkas di hutan belantara dalam sebuah bilik rumah dari kulit pohon. Disitulah ia menyusun taktik gerilyanya melawan pasukan Jakarta.
Upaya damai dari pemerintah pusat juga dilakukan namun hasilnya nihil. Didera perang selama dua dasawarsa, membuat sebagian tokoh pemberontak lelah dan setuju untuk mengakhiri peperangan dengan membentuk dewan revolusi. Sebagian besar tokoh Darul Islam Aceh ternyata berpihak kepada dewan ini dan beberapa tokoh juga meninggalkan Daud Beureueh.
“Kami di Aceh ini punya impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi Negara Islam.”
Daud Beureueh