Dalam menghadapi dinamika pasar, perusahaan menghadapi resiko kehilangan relevansi sebagai kategori atau subkategori, ataupun kehilangan fokus sehingga brand menjadi tidak relevan.
Salah satu contoh kasusnya ialah Walmart. Pada tahun 2005, Walmart meraih kesuksesan. Penjualannya hampir mendekati $300 miliar, 10x lipat dari 10 tahun sebelumnya.
Walmart saat itu memiliki 5000 toko. Namun terdapat empat isu yang muncul. Pertama, isu tentang perlakuan tidak adil pada kesejahteraan karyawan, dimana program asuransi kesehatan tidak memadai, upah yang rendah, dan diskrimasi terhadap pekerja wanita.
Kedua, sumber barang yang berasal dari Cina dan tempat lain telah memengaruhi neraca pembayaran Amerika.
Isu ketiga, ada keyakinan sebagian orang bahwa masuknya Walmart di suatu area menyebabkan retailer kecil menjadi tersingkir dari bisnis.
Dan, keempat, cerita tentang bagaimana Walmart ‘meletakkan’ cukup banyak harga dan brand demands pada suppliers yang bergantung pada bisnis Walmart. Isu-isu negatif ini pun memengaruhi strategi bisnis Walmart.
Pada tahun 2005, Walmart membangun visi untuk menjadi leader dalam program peduli lingkungan, dengan tujuan khusus pada sustainability. Perusahaan ini merancang target tangible energy reduction pada toko dan produknya. Makanan organick dan pakaian yang terbuat dari kapas organik pun menjadi item yang juga dijual di Walmart.
Tahun 2009, program-program tersebut semakin bergaung dan melibatkan tak hanya karyawan, tetapi juga suppliers, komunitas dan konsumen.
Hingga pada tahun 2010, Walmart mendapat apresiasi sebagai ‘Environmental Game Changer’. Keberhasilan ini berdampak baik bagi reputasi Walmart, terutama setelah isu-isu yang pernah muncul.
Walmart berhasil melakukan perubahan signifikan, membangun dan menjaga relevansi brand nya.
” Raihlah strategi yang tak dapat di copy oleh kompetitor Anda.”
Jim McNerney