Pergantian pemimpin pada masa akhir pendudukan Jepang di Bogor Shu dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pemerintahan dalam menunjang kedudukan Jepang di medan perang.
Pada saat itu, perubahan kepemimpinan tidak hanya dilakukan pada pimpinan tingkat atas saja, melainkan juga pada lapisan bawah.
Selain itu juga, pemerintahan Jepang membuka tanah-tanah partikelir, dan mereka mengadakan Ku (desa) di tanah partikelir.
Kemudian melantik para Kucho (pemimpin desa) agar mengerahkan penduduknya untuk meningkatkan hasil pertanian, turut serta dalam membela tanah air, dan segera menyongsong kemerdekaan.
Pemerintahan Jepang menyadari bahwa peran desa sangat penting dalam menyokong pendudukan mereka di Indonesia.
Mereka melatih para Kucho dengan menekankan pada usaha-usaha untuk tonarigumi. Seperti yang dilakukan di Cianjur Ken yang telah berhasil memproduksi gula merah sendiri.
Pada kalangan menengah atas terjadi perubahan seperti Raden Adiwikarta, Cianjur Kencho dipindah tugaskan menjadi Sukabumi Kencho; dan R. Ijok Mohamad Sirodj, Sukabumi Fuku Kencho menjadi Cianjur Kencho.
Sedangkan pada tingkat pusat di Jakarta, Chuo SangiIn (Badan Pertimbangan Pusat yang memberikan pertimbangan/nasihat pada pemerintah pendudukan militer di Jawa) dibentuk panitia istimewa pada Chuo SangiInke-7.
Dalam panitia istimewa di Chuo SangiInke-7, semua anggota dimasukkan dan di dalamnya Ir. Soekarno sebagai Shusa (ketua panitia).