Tonarigumi merupakan sistem gotong royong yang dibuat oleh pemerintahan Jepang pada Januari 1944.
Sistem ini dibuat oleh Jepang untuk mencapai “kemenangan akhir” sebagai wujud dari kemakmuran bersama Asia Timur Raya.
Padahal sebenarnya Jepang menggunakan tonarigumi untuk menguras sumber-sumber ekonomi rakyat Indonesia.
Hal itu dikarenakan kedudukan angkatan perang Jepang berada pada kondisi terdesak di segala front.
Sistem tonarigumi sangat efektif digunakan untuk memperketat pengendalian terhadap penduduk. Mereka mengadakan latihan kilat di seluruh Jawa untuk pemimpin-pemimpin tonarigumi.
Para pemimpin-pemimpin tersebut dianjurkan oleh Jepang untuk melakukan pembelaan terhadap tanah air, melipat gandakan hasil bumi, meningkatkan semangat gotong-royong, serta menjalankan segala perintah untuk menuju kemenangan akhir.
Sedangkan di Bogor Shu, pemerintahan Jepang mencari cara agar pemimpin rakyat (Pangrehpraja) tetap loyal kepada mereka. Mereka membuat kebijakan untuk mengajarkan bahasa Jepang sebagai bagian dari strategi agar komunikasi bisa berjalan dengan lancar.
Mereka menganggap komunikasi penting agar sasaran yang telah ditetapkan bisa tercapai. Hal itu mereka dasari atas kekhawatiran terhadap Pangrehpraja agar bisa mendukung perjuangan mereka.
“Tenaga sepuluh tahun harus kita kumpulkan dalam setahun ini. Tuan-tuan bukan kaum pekerja biasa, tetapi prajurit yang akan berjuang untuk mencapai kemenangan akhir, bukan saja pada masa perang. Azas yang penting sekali bagi kewajiban tuan-tuan ialah bertabiat suci dan berbudi pekerti tinggi. Itulah semangat yang menyusun masyarakat baru.”
Ir. Soekarno