Apa yang Anda lakukan ketika mendapat laporan anak Anda melakukan kekerasan pada temannya? Marah? Malu? Atau justru menyalahkan anak?
Sebelum melakukan semua itu, cobalah evaluasi diri apakah Anda pernah melakukan kekerasan di depan mereka?
Ketika anak mulai memukul, Anda harus menyadari bahwa ada pola asuh yang salah dalam penerapannya terhadap anak. Akui hal tersebut pada diri sendiri. “Ya saya masih kesulitan mengarahkan anak dalam mengungkapkan emosinya, saya akan memperbaikinya”.
Hal itu akan memudahkan bagaimana seharusnya bersikap dan membantu anak memperbaikinya.
Anak memiliki kemampuan merekam informasi yang luar biasa. Anak-anak yang sering mendapatkan hukuman fisik atau menyaksikan bentuk kekerasan sebagai luapan kemarahan cenderung berperilaku memberontak. Ia belajar satu hal bahwa kalau ia marah, ia boleh memukul orang lain.
Jika anak sudah mulai melawan atau memukul, hentikan siklus ini. Komunikasikanlah dengan tenang bahwa kemarahan dapat dilampiaskan tanpa kekerasan. Buatlah anak untuk bisa mengekspresikan perasaanya kepada orangtua dengan nyaman apa yang sedang mereka rasakan. Sehingga lebih mudah kita untuk mengidentifikasi penyebabnya.
Anak korban kekerasan menyimpan kemarahan dalam dirinya. Memang tidak mudah untuk menghentikan perilaku memukul tersebut, perlu waktu dan kesabaran.
Diskusikanlah dengan anak konsekuensi yang akan diterima jika mengulanginya lagi. Selain itu, Anda juga bisa mencarikan alternatif untuk mengekspresikan kemarahannya. Misalnya mengajak untuk menulis kekesalannya dalam buku, menggambar atau membaca komik yang lucu.
Sebagai orangtua milenial, sudah bukan zamannya melakukan kekerasan dalam mendidik anak. Contoh sederhana ketika Anda menyuruh anak tidur siang, namun ia tidak mendengarkannya. Tidak perlu ada jejeritan, bentakan atau kekerasan fisik.
Anda cukup memperingatkan dengan halus namun tegas. Pembangkangan seperti ini biasanya hanya untuk menguji Anda saja dan bukan maksud untuk tidak mematuhi orangtua.