Alkisah, ada seorang Kiai memelihara burung beo di pesantren. Burung itu sering dilatih oleh sang Kiai dengan bacaan-bacaan dzikir seperti: AllahuAkbar, subhanallah, alhamdulillah, dan bacaan tayibah lainnya, sampai burung itu mahir mengucapkannya.
Suatu hari, burung itu terlepas. Para santri yang melihatnya, kemudian mengejarnya beramai-ramai. Tapi burung itu semakin terbang, tidak terkontrol, hingga ke jalan raya, lalu tertabrak dan mati. Setelah itu, salah satu santri mengambil burung beo itu dan menguburkannya.
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, para santri melihat sang Kiai terlihat masih bersedih dan nampak murung. Kemudian beberapa santri memberanikan diri untuk bertanya kepada sang Kiai.
“Kiai, kami akan menggantikan burung beo dan membelikannya untuk Kiai, karena kami tidak ingin Kiai berlama-lama larut dalam kesedihan.” Ujar salah satu santri yang merasa bersalah, karena kejaran mereka burung itu tertabrak.
Sang Kiai menjawab: “Bukan karena burung itu mati yang membuat saya bersedih, namun lihatlah ketika burung itu sekarat, sama sekali burung itu tidak mengucapkan kalimat tayibah yang sering ku latih, namun burung itu hanya merasakan perihnya.”
Lanjut Kiai: ”Santriku, padahal burung itu tidak diganggu setan saat sakaratul maut, sedangkan manusia akan diganggu setan saat sakaratul maut. Tentu kita tidak akan tahu nanti keadaan saat akan mati, apakah husnul khotimah atau su’ul khatimah?”
Santri pun terdiam mendengar apa yang telah dikatakan oleh Kiai. Sambil mereka berpikir bagaimana nanti yang akan terjadi pada diri mereka. Jangan-jangan dzikir yang selama mereka ucapkan hanya sebatas di mulut saja, tidak di hati.