Dulu, zamannya pursuit for spirituality. Sebab konon, zamannya para nabi ialah zamannya manusia spiritual. Namun, sepeninggal para nabi, perlahan-lahan manusia menjelma menjadi makhluk sosial. Bahkan setelahnya manusia menjadi makhluk yang rasional dan emosional.
Kemudian, berkembanglah apa yang sering disebut societal marketing, yang masih ada kaitannya dengan pursuit of spirituality.
Karena dulu, sembari menjalankan usaha, seorang pedagang amat peka untuk menjaga lingkungannya. Yakni, jangan sampai usahanya mengotori dan mengganggu masyarakat di sekitarnya.
Lalu, apa yang terjadi saat ini? Lihatlah, saat ini banjir informasi via internet. Konsumen dengan bebas membaca dan akhirnya memilih produk yang ia suka dan sesuai harganya. Konsumen benar-benar berkuasa penuh atas sebuah transaksi. Inilah zaman people power.
Dulu, waktu luang yang tersedia sangatlah banyak, sedangkan barang yang tersedia sangatlah sedikit. Alhasil, konsumen memilih sesuatu yang sederhana, karena memang hanya itulah yang tersedia di pasar.
Lima tahun ini yang terjadi justru sebaliknya. Waktu yang tersedia semakin sedikit, sedangkan barang yang tersedia sangatlah banyak. Lantas, apa yang menjadi preference konsumen? Ternyata, konsumen tetap menyukai sesuatu yang sederhana. Inilah zaman pursuit of simpilicity.
Karena, kekangan waktu dan limpahan barang malah membuat konsumen bingung, sehingga konsumen terpaksa “menyelamatkan diri” dengan cara menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang sederhana. Karena itulah, tantangan Anda, bagaimana menjadikan kesederhanaan itu sebagai suatu keunikan (daya saing)?
Allen Adamson dalam karya lawasnya Brand Simple: How the Best Brands Keep it Simple and Succeed, juga menyarankan hal yang senada. Dengan kata lain, kesederhanaan dalam keunikan, keunikan dalam kesederhanaan. Sungguh tidak gampang, karena seringkali keunikan identik dengan keruwetan.
Tetapi, Samsung dan Google berhasil mengentaskannya. Bahkah Philips melantik Sara Berman—desainer pakaian dari Inggris—sebagai Simplicity Advisory Board. Satu-satunya tugas dewan ini adalah menjaga agar produk-produk Philips tetap sederhana. Demi sebuah kesederhanaan, sebuah perusahaan elektronik rela merekrut seorang desainer pakaian!
“Alur nasib Anda ditentukan oleh Anda sendiri, bukan peramal. Jika Anda mau, Anda berpeluang menjadi pemenang pada tahun depan.”
Ippho Santosa