Bagaimana jika Anda dipaksa untuk memegang sebuah amanah yang sebenarnya tidak Anda inginkan? Anda bisa belajar dari kisah Mu’awiyah bin Yazid berikut ini.
Mu’awiyah bin Yazid merupakan putra dari penguasa kedua Dinasti Umawiyyah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah. Ayahnya bernama Yazid bin Mu’awiyyah yang berpulang pada usia 38 tahun.
Menyandang gelar sebagai penguasa ketiga Dinasti Umayah, Mu’awiyah bin Yazid menyadari bahwa politik bukanlah dunianya. Meskipun demikian, dia tetap diangkat sebagai penguasa, sekitar empat bulan selepas kematian ayahandanya.
Dia mewarisi kekuasaan yang sedang mengalami pergolakan politik. Betapa gelisahnya dia menerima amanah yang terasa sangat berat itu.
Wajar jika dia merasakan itu, karena Mu’awiyah bin Yazid memiliki sikap dan gaya hidup yang berlawanan dengan ayahandanya. Mu’awiyah bin Yazid adalah seseorang yang lebih mengutamakan ibadah ketimbang urusan duniawi.
Mu’awiyah bin Yazid bukanlah seorang negarawan, melainkan ahli ibadah, dan ia sendiri merasa tidak layak menerima amanah sebagai seorang penguasa.
Karena itu, dengan segala pertimbangan, dia membulatkan hati akan mundur dari jabatannya setelah memerintah selama tiga bulan.
Maka di hadapan para tokoh istana yang berkumpul di Jabiyah, Mu’awiyah bin Yazid menyerahkan jabatannya. Para pemuka istana memintanya untuk menunjuk seorang pengganti.
Namun, dengan tegas Mu’awiyah bin Yazid menjawab, “Aku bukan Abu Bakar Al-Shiddiq yang mampu menunjuk seorang pengganti. Aku juga bukan Umar yang kuasa menunjuk Dewan Syura. Kalian lebih tahu maka pilihlah orang yang kalian kehendaki.”
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya"
HR. Bukhori