Salah satu prinsip sosial yang sudah sangat populer adalah prinsip resiprokal, yaitu bahwa seseorang akan berusaha untuk membalas kebaikan orang lain. Prinsip ini dapat menjadi “senjata” yang efektif untuk memengaruhi orang lain.
Terdapat dua cara untuk menerapkan prinsip ini. Pertama, dengan memberikan ‘bantuan’ kepada pihak lain, agar pihak tersebut pada akhirnya mau menyetujui permintaan Anda. Contoh yang paling jelas adalah pemberian sampel produk. Sampel produk yang diberikan gratis dapat mendorong perasaan tidak enak pada calon pembeli hingga akhirnya mereka mau membeli.
Cara kedua adalah dengan memunculkan perasaan ‘berhutang’ saat melakukan penolakan.
Sebagai contoh, bayangkan Anda bertemu dengan siswa yang sedang mengumpulkan dana untuk kegiatan pentas seni mereka. Siswa tersebut menawarkan kepada Anda tiket untuk datang ke pentas seni mereka seharga seratus ribu rupiah. Karena tidak berminat, Anda tentunya akan menolak permintaan tersebut.
Sebagai ganti penolakan tersebut, siswa itu kembali menawarkan kepada Anda souvenir dengan harga dua puluh ribu rupiah. Karena tidak enak sudah menolak di awal, Anda kemungkinan besar akan menerima penawaran yang kedua.
Prinsip ini seringkali dieksploitasi terlalu jauh. Pertama, aturan ini kadangditerapkan pada ‘pemberian pertama’ yang tidak diminta. Akibatnya, seringkali aturan ini membuat seseorang merasa ‘berhutang’ padahal sebenarnya ia tidak meminta apapun.
Kedua, aturan ini seringkali membuat posisi salah satu pihak tidak diuntungkan, karena merasa ‘berhutang’ dan pada akhirnya terpaksa menyetujui apa pun yang ditawarkan pihak lain.
Untuk menghindari prinsip ini dieksploitasi terhadap Anda, Anda harus dapat mengendalikan respons otomatis Anda. Anda harus melihat ‘bantuan’ pertama yang Anda terima secara obyektif. Apabila terbukti bantuan tersebut sebagai trik, maka Anda harus dapat meredefinisi bantuan tersebut sebagai trik, agar tidak terjebak dalam prinsip resiprokal ini.