Jadi kelompok mana yang benar menurut Anda, utopians yang harus menghadapi ketakutan karena robot-robot dianggap sebagai sesuatu yang menyeramkan dan mengancam, ataukah dystopians yang menganggap bahwa teknologi adalah jawaban segalanya.
Keduanya tidak dipungkiri akan selalu menjadi perdebatan, baik yang pro atau kontra terhadap kecerdasan buatan.
Di dunia ini keduanya memiliki pemimpinnya masing-masing yang berada pada kutub yang berbeda. CEO Teslan Elon Musk menyebutkan bahwa, kecerdasan buatan “salah satu ancaman terbesar eksistensi manusia”. Atau seperti ramalan Stepen Hawking bahwa, “kecerdasan buatan merupakan akhir dalam sejarah umat manusia”.
Namun, berbeda halnya dengan para pendukung kecerdasan buatan seperti Ray Kurzweil yang menganggap bahwa, “20.000 tahun progres akan terjadi hanya dalam 100 tahun ke depan”.
Dan, CEO dari Allen Intitute of Kecerdasan Buatan, Oren Etzioni, membayangkan sebuah dunia di mana orang-orang fokus pada “aktivitas yang bermakna secara personal bagi mereka seperti layaknya seni”.
Keduanya memiliki argumentasi yang sangat kuat, namun yakinlah bahwa masa depan tidak hanya milik golongan utopians ataupun dystopians saja.
Ada golongan pragmatis yang selalu yakin bahwa mesin-mesin pintar akan meningkatkan standar kehidupan, mengijinkan Anda menyelesaikan masalah-masalah yang besar dan menciptakan produk, layanan, dan pengalaman yang sama sekali baru.
Golongan ini menganggap bahwa masa depan bisa jadi hebat jika Anda membuat keputusan yang pintar dan praktis. Bagi pragmatis, perdebatan tersebut tidak akan ada ujungnya dan jauh dari kesan untuk memunculkan konklusi.
“Kecerdasan buatan bukanlah sebuah legenda tentang unicorn. Ia adalah sarana produktivitas berlevel lebih tinggi.”
Kris Hammond