Sebagaimana sebagian konsep sosial lainnya, pemasaran juga terus mengalami perkembangan dan perubahan. “Evolusi” konsep pemasaran ini tidak lepas dari perubahan struktur pasar dan peta persaingan.
Itulah salah satu pembahasan awal di dalam buku Instant Marketing for Busy People yang ditulis oleh Ardhi Ridwansyah. Buku ini sendiri bisa dikatakan merupakan rangkuman konsep-konsep pemasaran yang disajikan secara ringkas. Tampilan visualnya yang lebih banyak menggunakan ilustrasi dan gambar menjadikannya lebih ringan untuk dibaca.
Tiga Era Pemasaran
Saat perusahaan masih memonopoli pasar, menjadi produsen tunggal bagi seluruh konsumen, maka fokus mereka hanyalah efisiensi proses produksi. Perhatian utama perusahaan lebih banyak ditujukan pada pengembangan produk. Inilah yang disebut dengan product-centric marketing atau era Marketing 1.0.
Seiring dengan munculnya pemain-pemain baru di pasar, persaingan pun menjadi lebih ketat. Perusahaan tidak bisa lagi asal membuat produk. Keinginan pelanggan harus diriset dan dipahami, baru kemudian “diterjemahkan” menjadi produk yang tepat. Perhatian utama perusahaan lebih ditujukan pada keinginan dari pelanggan. Inilah yang disebut dengan customer-centric marketing atau era Marketing 2.0.
Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan tidak hanya dituntut untuk memuaskan pelanggan, namun juga harus bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan, masyarakat maupun umat manusia secara luas. Inilah yang disebut dengan human-centric marketing atau era Marketing 3.0.
Perbedaan dari Setiap Fase
Salah satu perbedaan utama di antara ketiga era pemasaran tersebut adalah value yang ditawarkan oleh perusahaan. Di era Marketing 1.0, fokus perusahaan lebih pada penciptaan manfaat yang fungsional. Di era Marketing 2.0, fokus diperluas hingga pada manfaat yang emosional. Sedangkan di era Marketing 3.0, manfaat sosial juga telah menjadi pertimbangan.
Ilustrasi dari industri otomotif berikut ini akan memberikan gambaran lebih konkret tentang “evolusi” dalam konsep pemasaran.
“Konsumen bisa mendapatkan mobil dengan warna apapun asalkan hitam”, demikian kata-kata Henry Ford yang terkenal. Dengan kata lain, Ford hanya mau memproduksi mobil dengan warna hitam. Dan pelanggan tidak punya pilihan warna lain selain apa yang dibuat perusahaan.
Kata-kata di atas menunjukkan contoh paradigma yang product-centric (Marketing 1.0). Paradigma semacam ini hanya bisa bertahan jika perusahaan masih menikmati monopoli. Tapi begitu keran kompetisi terbuka, perusahaan harus mulai mendengarkan suara pelanggannya.
Bagi Toyota, memenuhi keinginan pelanggan adalah fokus utama perusahaan. Inilah era Marketing 2.0. Tidak ada gunanya perusahaan mendapatkan reputasi yang tinggi kalau konsumen tidak jatuh hati. Dalam perkembangan selanjutnya, Toyota mulai semakin perhatian terhadap isu-isu lingkungan. Ini ditandai dengan munculnya merek Prius yang merupakan mobil hybrid yang lebih ramah lingkungan. Inilah pergeseran Toyota menuju era Marketing 3.0.
Tesla sejak awal telah mendeklarasikan dirinya sebagai perusahaan yang ingin menciptakan perubahan positif di dunia. Keuntungan bisnis bukan semata-mata tujuannya. Bagi perusahaan semacam ini, tujuan bisnis dan sosial telah menyatu dalam denyut nadi perusahaan. Inilah contoh penerapan paradigma Marketing 3.0.
Penerapan konsep Marketing 3.0 tentu bukan berarti sekedar menonjolkan manfaat sosial dengan mengabaikan kualitas produk maupun pemuasan keinginan pelanggan. Justru konsep ini mengintegrasikan ketiga manfaat tersebut (fungsional, emosional dan sosial) sehingga pelanggan merasa mendapatkan value (nilai) yang lebih besar.
Sumber gambar: Quang Nguyen vinh dari Pixabay